daftar isi
alam dunia usaha, kecepatan dalam mengambil keputusan sering menjadi prioritas. Banyak pelaku usaha, khususnya pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), kerap memilih jalan pintas dalam menjalin kerja sama atau transaksi, salah satunya dengan menggunakan perjanjian lisan. Alasan yang paling umum adalah:
- Terlihat lebih praktis dan cepat
- Tidak membutuhkan biaya
- Berdasarkan kepercayaan personal
- Relasi sudah lama terjalin
Namun, di balik kemudahan tersebut tersembunyi risiko hukum yang sangat besar. Perjanjian lisan memang sah secara hukum, tetapi sangat lemah dari sisi pembuktian dan perlindungan hukum.
Apa Itu Perjanjian Lisan?
Perjanjian lisan adalah bentuk kesepakatan yang dilakukan secara verbal, tanpa dituangkan ke dalam bentuk tulisan atau dokumen resmi. Kedua belah pihak hanya mengandalkan ingatan, itikad baik, dan kepercayaan dalam menjalankan kesepakatan tersebut.
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), suatu perjanjian dianggap sah apabila memenuhi empat syarat:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
- Cakap untuk membuat perikatan
- Suatu hal tertentu (objek perjanjian)
- Suatu sebab yang halal
Secara teori, perjanjian lisan dapat memenuhi syarat di atas. Namun dalam praktik, perjanjian tertulis jauh lebih kuat dan aman secara hukum, khususnya dalam hal pembuktian di pengadilan.
Risiko Hukum dan Bisnis dari Perjanjian Lisan
1. Sulit Dibuktikan Secara Hukum
Perjanjian lisan tidak memiliki dokumen resmi. Jika terjadi sengketa, pembuktian hanya dapat dilakukan melalui saksi, rekaman pembicaraan (jika ada dan sah), atau komunikasi tidak langsung seperti pesan teks/email. Hal ini sangat rentan diperdebatkan, dan pengadilan sering kali menolak bukti tidak langsung jika tidak jelas atau ambigu.
Dalam hukum acara perdata, bukti tertulis merupakan alat bukti yang paling kuat dan utama.
2. Berpotensi Menimbulkan Kesalahpahaman
Tanpa dokumentasi tertulis, interpretasi masing-masing pihak dapat berbeda. Misalnya:
- Apa yang dimaksud “pembayaran lunas dalam 1 bulan”? Kalender atau hari kerja?
- Siapa yang menanggung biaya pengiriman?
- Bagaimana ketentuan pembatalan kerja sama?
Ketika tidak ada acuan tertulis, konflik akan mudah muncul hanya karena perbedaan persepsi.
3. Rentan Terjadinya Wanprestasi
Tanpa kontrak, pihak yang ingkar janji sulit dimintai tanggung jawab. Misalnya:
- Tidak membayar sesuai jadwal
- Mengubah spesifikasi barang/jasa secara sepihak
- Tidak mengirimkan produk sesuai pesanan
Anda tidak memiliki dasar yang cukup kuat untuk menggugat atau meminta ganti rugi secara hukum jika tidak ada bukti yang mendukung.
4. Kerugian Finansial dan Reputasi Bisnis
Perjanjian lisan yang bermasalah bisa berdampak langsung pada:
- Cash flow terganggu
- Operasional terhambat
- Kerugian karena stok menumpuk atau hilang
- Kredibilitas bisnis Anda turun di mata mitra dan pelanggan
Biaya untuk membuat kontrak jauh lebih kecil dibandingkan potensi kerugian dari konflik bisnis.
Mengapa Perjanjian Tertulis Lebih Aman?
Perjanjian lisan umumnya memiliki kelemahan dari segi pembuktian hukum karena sangat bergantung pada kesaksian, sementara perjanjian tertulis jauh lebih kuat karena didukung oleh dokumen fisik yang dapat diajukan di pengadilan. Dari segi kepastian isi, perjanjian lisan rentan menimbulkan multitafsir, sedangkan perjanjian tertulis memberikan kejelasan dan dapat dijadikan acuan kapan pun diperlukan.
Dalam hal penegakan hak, perjanjian lisan memiliki keterbatasan dan sulit dijadikan dasar untuk menggugat atau menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Sebaliknya, perjanjian tertulis memiliki kekuatan hukum yang dapat digunakan sebagai dasar tuntutan. Selain itu, perjanjian tertulis juga memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap aset dan modal karena ketentuan-ketentuannya sudah dituangkan secara jelas dan sah.
Tips Menghindari Risiko dari Perjanjian Lisan
1. Buat kontrak tertulis, meski sederhana
Gunakan format sederhana yang memuat identitas, hak dan kewajiban, objek transaksi, nilai kerja sama, dan durasi.
2. Gunakan materai atau tanda tangan digital
Materai meningkatkan kekuatan pembuktian. Untuk transaksi online, gunakan platform tanda tangan elektronik tersertifikasi.
3. Dokumentasikan setiap revisi atau tambahan kesepakatan
Perubahan harga, volume, atau tenggat waktu harus diperbarui secara tertulis, tidak hanya verbal.
4. Simpan dokumen dalam bentuk cetak dan digital
Gunakan cloud atau penyimpanan lokal yang aman untuk salinan kontrak.
5. Jika ragu, konsultasikan ke ahli hukum
Beberapa kerja sama berisiko tinggi sebaiknya diperiksa oleh pengacara atau konsultan hukum terlebih dahulu.

Studi Kasus
Pak Joko menjalankan toko pakaian yang rutin memesan kain dari pemasok lokal. Keduanya sepakat secara lisan bahwa pembayaran dilakukan 30 hari setelah pengiriman. Namun, pada pesanan ketiga, pemasok secara tiba-tiba menuntut pelunasan dalam 7 hari, dan mengancam menghentikan pengiriman berikutnya.
Karena tidak ada kontrak tertulis:
- Pak Joko tidak dapat menolak perubahan tenggat
- Tidak ada dasar untuk menuntut kerugian karena terganggunya suplai
- Usaha Pak Joko harus menutup toko selama seminggu karena kehabisan stok
Akhirnya, Pak Joko menyadari pentingnya membuat kontrak tertulis bahkan dengan pemasok yang sudah dikenal.
Kesimpulan
Perjanjian lisan tidak salah secara hukum, tetapi sangat berisiko secara bisnis. Di era modern dengan banyaknya potensi konflik, kontrak tertulis adalah kebutuhan dasar untuk menjaga kelangsungan usaha Anda.
Jangan biarkan bisnis Anda terjebak dalam konflik hanya karena tidak ada dokumen. Ingat, hukum butuh bukti, bukan asumsi.
Ingin Membuat Kontrak Bisnis yang Aman?
AUFAR & Co Law Office siap membantu Anda:
- Menyusun dan mereview kontrak kerja sama dagang, vendor, distributor, atau karyawan
- Membuat perjanjian bisnis sederhana maupun kompleks
- Memberikan konsultasi hukum untuk mencegah risiko hukum dalam kerja sama bisnis
Konsultasi awal GRATIS. Lindungi bisnis Anda bersama AUFAR & Co.